Pages

Subscribe:

Selasa, 15 November 2011

[Sejarah] Babad Banyumas



Sejarah Wirasaba (naskah dari Purbalingga)

Naskah Sejarah Wirasaba adalah koleksi pribadi Mad Marta, penduduk Desa Wirasaba, Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Naskah tersebut hasil salinan dari Mulyareja, paman Mad Marta. Ia lahir pada hari Senin Kliwon, 27 Desember 1894 dan menjadi penduduk Wirasaba sejak 8 Januari 1946. (Drs. Sugeng Priyadi M.Hum)

  1. Naskah Lor
    Pada pupuh I, bait2, terdapat keterangan yang menjelaskan kapan naskah itu ditulis, yaitu sengkalan yang berbunyi swara naga giri sangi. Sengkala itu menunjukkan tahun Jawa 1787 atau 1858 Masehi. Menurut Mad Marta, naskah Sejarah Wirasaba ini merupakan salinan ketiga dari naskah yang berangka tahun 1858 Masehi.

    Naskah memakai kertas berukuran 16,5 x 21 cm. Teks Sejarah Wirasaba berbentuk tembang macapat (14 pupuh) (halaman 1-85) dan gancaran silsilah Adipati Wira Utama (Katuhu) sampai Tumenggung Yudanegara atau gandakusuma (halaman 86-90).
    Pada halaman 10 dan 11 ada keterangan bahwa ada satu bait yang hilang (pupuh III, bait 9 dan 12).
    Disamping itu, pada halaman 72 juga diketemukan penjelasan bahwa ada beberapa halaman naskah yang disalin hilang. Ada kemungkinan naskah ini kurang delapan setengah bait dandanggula (pupuh XI) dan empat baris asmarandhana (pupuh XII). Kekurangan halaman ini dapat diteliti melalui teks Babat Wirasaba Kejawar dan Serat Sedjarah Banjoemas. Kedua teks tersebut diduga disalin dari teks Sedjarah Wirasaba di Banyumas dengan tambahan teks tradisi lisan Babad Pasir dan kisah keluarga Dipayuda Banjarnegara.

    1. Kiranya, naskah Sejarah Wirasaba ditemukan juga di Universitas Leiden dengan kode Lor. 6427, Lor. 7718, Lor. 7469. Naskah Lor. 6427 berjudul History of Wirasaba . Naskah ini disalin dari naskah milik Tumenggung Sastranegara dari Yogyakarta. Kertas ukuran yang dipakai 21,5 x 34,5 cm. Teks memakai huruf Jawa dengan 24 baris setiap halamannya. Teks berbentuk tembang macapat. Soegiarto membuat daftar isi dan nama-nama pupuh teks ini. Naskah ini merupakan koleksi Dr. Hazeu. History of Wirasaba diawali dengan kisah Raden Kaduhu, putra Raden Baribin dengan putri kerajaan Padjadjaran (Pigeaud, 1968 : 374).

    2. Naskah Lor. 7718 berjudul History of Wirasaba Banyumas berisi 46 halaman dengan kertas ukuran 17 x 22 cm. Setiap halaman berisi 15 baris dengan huruf Jawa dan tembang macapat . Teks dilengkapi dengan ringkasan dan daftar pupuh. Naskah ini merupakan naskah dari Snouck Hurgronje tahun 1936 (Pigeaud, 1968 : 462).

    3. Naskah Lor. 7469 berjudul History of The Wirasaba Banyumas Family dalam tembang macapat dan huruf Jawa. Naskah ini berisi 163 halaman yang berukuran 17 x 21,5 cm dengan 14 baris setiap halamannya. Salinan naskah ini diterima Mr. Selleger dan merupakan peninggalan Snouck Hurgronje tahun 1936 (Pigeaud, 1968 : 439).


  2. Dinasti Wirasaba
    Sejarah Wirasaba membuka kisah dengan menampilkan dinasti Wirasaba yang menjadi leluhur Banyumas. Dinasti Lokal ini berkaitan dengan Majapahit. Salah seorang putra raja Majapahit pergi berkelana ke Padjadjaran dan kimpoi dengan Putri Pamekas. Perkimpoian itu menghasilkan putra yang bernama Raden Katuhu. Di sini, tidak disebut putra-putra Raden Baribin. Raden Katuhu dikisahkan menjadi adipati di Wirasaba dengan gelar Adipati Warga Utama berputra Dipati Urang dan Dipati Urang berputra Adipati Sutawinata (Surawin).
    Kemudian, cerita sisipan Ki Tolih dihadirkan. Raja Negeri Keling memerintahkan Ki Tolih untuk membunuh raja Majapahit Brawijaya. Namun usaha itu gagal, bahkan Ki Tolih dapat di tawan oleh Ki Gajah. Sementara itu kuda milik baginda mengamuk di ibu kota Majapahit dan tak seorang pun yang berani menangkap kuda itu. Lalu, Raja Brawijaya mengadakan sayembara barang siapa yang dapat menangkap kuda akan mendapat hadiah tanah dan puteri. Ki Tolih sebagai tawanan memberanikan diri mengikuti sayembara. Akhirnya, Ki Tolih berhasil menaklukkan kuda itu dengan mudah. Ternyata kuda milik baginda raja kemasukan roh Burung Endra yang mati dibunuh oleh Ki Gajah. Sebagai seorang pemenang sayembara, Ki Tolih menolak hadiah raja. Yang diminta adalah keris gajah Endra yang dibawanya dari Negeri Keling. Ki Tolih kemudian mengembara dan sampai di daerah Kaleng dan mengabdi pada Adipati Kaleng. Rakyat Kaleng hidup makmur, murah sandang dan pangan.
    Adipati Surawin (Sutawinata) telah berputra, yaitu Raden Tambangan yang kimpoi dengan putri Banyak Geleng Pasirbatang Dewi Lungge. Perkimpoian ini menlahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Warga (Warga Utama I), Jaka Gumingsir dan Ki Toyareka. Raden Tambangan menjadi adipati Wirasaba pada masa pemerintahaan Demak dengan gelar Sura Utama. Sepeninggal Raden Warga menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Warga Utama I.

  3. Jaka Kaiman Mengabdi
    Adipati Warga Utama I mempunyai banyak panakawan yang diambil dari para peringgi dan kadipaten Wirasaba. Para panakawan tidur di halaman. Pada bulan purnama, Adipati Warga Utama melihat cahaya masuk ke dalam tubuh salah seorang panakawan dari Kejawar yang tidak dikenal oleh Sang Adipati. Oleh karena itu, Sang Adipati merobek bebed panakawan Kejawar sebagai bukti.
    Pagi harinya, panakawan dari Kejawar dipanggil, lalu ia diberitahu bahwa ia akan dijadikan menantu. Jaka Kaiman, panakawan dari Kejawar akan dinikahkan dengan puteri Adipati Warga Utama yang bernama Raden Sukartimas dan uang lima riyal sebagai pitukon. Kaiman disuruh pulang oleh Sang Adipati agar memberitahukan ayahnya. Tidak lama kemudian, dua orang utusan Wirasaba datang membawa surat pemberitahuan bahwa Kaiman akan diambil sebagai menantu dengan pitukon lima riyal. Karena tidak mampu, Kiai Mranggi Kejawar meminta bantuan keuangan kepada Banyak Kumara di Kaleng. Di situ, Kiai Mranggi berjumpa dengan Ki Tolih. Pertemuan ini amat berarti bagi Kaiman di kemudian hari. Ki Tolih memesan wrangka keris kepada Kiai Mranggi dan keris Gajah Endra dibawa pulang ke Kejawar. Ki Tolih kemudian menghasiahkan keris Gajah Endra kepada Jaka Kaiman. Ki Tolih juga meramalkan Kaiman menjadi penguasa di Wirasaba. Keris Gajah Endra dilarang dibawa ke medan perang selama tujuh turunan.
    Sejarah Wirasaba (Pantangan Hari Naas Sabtu Pahing)

    Adipati Warga Utama I mempunyai empat orang anak, yaitu (1) seorang putri yang menikah dengan putra Mranggi Kejawar (Jaka Kaiman), (2) Ki Ageng Senon, (3) Ki Ngabehi Wargawijaya dan (4) seorang putri yang dinikahkan dengan putra Ki Demang Toyareka.


    Fitnah Ki Demang Toyareka

    Perkimpoian putri bungsu dengan putra Ki Demang Toyareka ini 'elik'. Oleh karena itu, perkimpoian ini diceraikan dengan hukum Islam oleh Sang Adipati.
    Tidak lama kemudian, Sultan Pajang meminta kepada seluruh adipati bawahannya agar mengirimkan seorang putri untuk dijadikan "pelara-lara".
    Sang Adipati Wirasaba mengirimkan putri bungsunya (bekas menantu Ki Demang Toyareka) kepada Sultan Pajang. Putra Demang Toyareka amat marah mendengar bekas istrinya diserahkan kepada Sultan Pajang. Oleh karena itu, ia bersama lima orang pengiringnya pergi ke Pajang untuk meminta keadilan Sultan Pajang.
    Kemudian orang-orang Toyareka berjemur di dekat pohon beringin kembar dan diperiksa oleh gandek. Putra Demang Toyareka menyatakan bahwa istrinya diserahkan kepada Sultan oleh Sang Adipati Wirasaba.
    Pengaduan itu kemudian dilaporkan kepada Sultan. Sultan sangat marah dan menjatuhkan hukuman mati bagi Adipati Wirasaba yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Wirasaba setelahmenyerahkan putrinya. Sultan bagai keranjingan iblis tanpa memeriksa wanita yang bermasalah itu.
    Lalu, beliau mengirimkan tiga orang gandek untuk melaksanakan eksekusi terhadap Adipati Wirasaba dimanapun dapat ditemukan.
    Sultan pulang ke istana dan memeriksa putri Wirasaba. Ternyata pengaduan putra Demang Toyareka tidak benar.
    Sang Adipati Wirasaba tidak bersalah. Karena itu, Sultan mengirimkan kembali tiga orang gandek untuk mencegah hukuman mati yang ditimpakan kepada Adipati Wirasaba.


    Pamali Adipati Warga Utama I menjadi kisah legendaris bagi keturunannya, khususnya masyarakat Banyumas. Pamali hari sabtu pahing dalam teks ini memang dilengkapi dari tradisi lisan dan teks-teks lain Babat banyumas dengan hari sabtu. Ada kemungkinan, teks sejarah Wirasaba merupakan teks yang tua yang hanya menyebut hari pahing saja.



    Hari Naas Sabtu Paing

    Sementara itu Adipati Wirasaba dalam perjalanannya pulang mampir di rumah sahabatnya, yaitu Kiai Ageng Bener. Di situ, Sang Adipati disuguh nasi dengan lauk pindhang banyak dan duduk di bale bapang (bale malang).
    Ketika sedang menikmati hidangannya, Sang Adipati melihat ada tiga orang gandek menyusulnya. Sang Adipati menanyakan keperluan mereka. Namun, ketiga orang gandek itu mempersilahkan Sang Adipadi untuk menyelesaikan hidangannya.
    Pada saat itu, tiga orang gandek yang menyusul telah datang. Mereka melambai-lambaikan tangannya dari kejauhan agar hukuman mati dibatalkan. Tetapi ketiga gandek yang sedang menunggu Sang Adipati tidak tahu isyarat itu. Bahkan isyarat itu dianggap sebagai tanda untuk segera melaksanakan perintah Sultan Pajang.
    Sudah menjadi takdir, Sang Adipati ditusuk dadanya dan luka parah. Di situ, kedua rombongan gandek bertengkar saling menyalahkan. Meskipun luka, Sang Adipati sempat menasehati mereka agar tidak bertengkar dan melaporkan kepada Sultan bahwa hukuman mati telah dilaksanakan tanpa dicegah oleh gandek yang datang kemudian. Sang Adipati juga menyatakan bahwa kesalahpahaman gendek dan perintah Sultan adalah sarana takdir atas kematiannya.
    Ki Tolih sebagai tawanan memberanikan diri mengikuti sayembara. Akhirnya, Ki Tolih berhasil menaklukkan kuda itu dengan mudah. Ternyata kuda milik baginda raja kemasukan roh Burung Endra yang mati dibunuh oleh Ki Gajah. Sebagai seorang pemenang sayembara, Ki Tolih menolak hadiah raja. Yang diminta adalah keris gajah Endra yang dibawanya dari Negeri Keling. Ki Tolih kemudian mengembara dan sampai di daerah Kaleng dan mengabdi pada Adipati Kaleng. Rakyat Kaleng hidup makmur, murah sandang dan pangan.

    Sebelum meninggal, Sang Adipati memberikan pamali kepada keturunannya :


    /4/ anak putu aja ana kang met mantu/

    wong ing Toyareka benjing/

    lan aja nganggo ing besuk/

    jaran wulu dhawuk abrit/

    poma ing wawekas ingong//



    /5/lawan aja nganggo bale bapang besuk/

    lan aja ana kang mangan/

    iwak banyak wekas ingsun/

    aja lungan dina pahing/

    poma iku wekas ingong//





    Pamali Sakral

    Legenda hari pahing memang tidak terlepas dari keempat pamali lainnya, bahkan kelima pamali itu merupakan pamali sakral dan bukan pamali yang profan. Kelima pamali itu merupakan satu kesatuan yang saling berinterrelasi dan memunculkan makna yang utuh.
    Pamali yang pertama terkait dengan Toyareka. Toyareka bukanlah nama asli, tetapi nama rekaan. Tokoh Demang Toyareka sering disebut dengan nama Raden Bagus Joko Suwarjo. Kadangkala Toyareka disebut juga Banyureka. Toyareka adalah pembawa fitnah yang memulai segala peristiwa.
    Toya artinya banyu dalam klasifikasi berada di sebelah timur. Timur adalah awal mula peristiwa sebagaimana matahari terbit dari timur.
    Sejarah Wirasaba (pantangan daging angsa) I

    Setelah pada bagian sebelumnya anda mengenal pamali tentang hari larangan untuk melakukan aktifitas, berikut ini simaklah tentang pamali daging angsa. Pada bagian ini akan diceritakan mengenai pamali daging angsa, silsilah umum Adipati Warga Utama, Keturunan Banyak dan Penjelmaan Siwa.

    Pamali bale bapang. Bale bapang atau bale malang dibangun untuk menghubungkan rumah induk dan pendapa. Jadi, fungsi bale bapang adalah sebagai jalan dari rumah induk menuju pendapa. Adipati Warga Utama I makan pindang banyak di tengah-tengah jalan. Bale bapang adalah alam antara hidup dan mati, nyata dan maya, awal dan akhir, dll. Masa peralihan adalah masa yang penuh krisis, bahasa, konflik, dan mungkin chaos. Karena itu, bangsa-bangsa kuno melakukan upacara inisiasi pada kasus kematian dari anggota masyarakatnya.

    Upacara inisiasi merupakan sarana pelepasan dari anggota masyarakat manusia menuju masyarakat yang baru, yaitu masyarakat roh. Upacara inisiasi tidak lebih sebagai upacara perpisahan. Pihak yang ditinggalkan mendapatkan kesedihan dan kehilangan, sementara pihak yang pergi dalam kondisi tidak menentu. Ada yang pergi ada yang datang.

    Pamali hari sabtu pahing pada saptawara adalah hari ketujuh atau hari terakhir. Hari sabtu disebut sanaiscara dalam kalender Jawa Kuno sebagai hari istirahat. Hari Sabath dalam bahasa Ibrani berati istirahat, yaitu hari terakhir dari pekan (sabtu) dianggap sebagai hari istirahat suci orang Yahudi sejak dahulu kala. Pamali hari sabtu mungkin muncul karena ada perubahan zaman dari Hindu ke Islam. Hari Jumat menggantikan sanaiscara (sabtu) sebagai hari suci. Hari sabtu menempati arah selatan seperti halnya pahing.

    Warga Utama

    Arah selatan melambangkan darah, keturunan ibu (matrilineal), warna merah, dan huruf jawa da-ta-sa-wa-la. Keturunan ibu memiliki watak ibu dan garis matrilineal. dan garis ibu, Adipati Warga Utama I adalah keturunan ketujuh (gantung siwur) para Adipati Pasirluhur :

    1. Kanda Daha (pasirluhur)
    2. Ciptararas (istri banyak catra atau kamandaka)
    3. Banyak Wirata (pasirluhur)
    4. Banyak Rama (pasirluhur)
    5. banyak Besi (pasirbatang)
    6. Dewi Lungge (istri Adipati Wirasaba Sura Utama)
    7. Warga Utama I

    Warga Utama I sebagai keturunan ketujuh gantung siwur berkaitan dengan hari sabtu sebagai hari ketujuh. Angka tujuh termasuk golongan angka yang penting, misalnya, digunakan untuk bangunan Candi gedong SOngo dengan gedong Pitu, Bendungan waringin Sapta di Sungai Brantas yang dibangun pada zaman Airlangga, Ibukota Mataram Hindu di Mdang Ri Poh Pitu, Keris Gandring oleh Raja Pipitu, Ksatria Werkudara disebut Gendeng Pitu, ada dendam tujuh turunan, dll. Kata pitu berarti nenenk dari nenek. Jadi, pitu melambangkan nenek moyang dari Warga Utama I.

    Huruf Jawa da-ta-sa-wa-la menunjuk kepada perselisihan anatar Warga Utama denga demang Toyareka, yang menyebabkan bencana, pralaya atau mengalami jaman kali. Perselisihan dilanjutkan dengan kesalahpahaman dua rombongan gandek Sultan Pajang yang menyebabkan kematian Warga Utama I.

    Keturunan Banyak
    Darah atau getih disamping sebagai lambang kematian, juga lambang keturunan. Warga Utama I dari garis ibu merupakan keturunan Marga Banyak (angsa). Angsa atau banyak adalah binatang totem keluarganya. Karena itu muncul pamali kelima, yaitu makan pindang banyak. Larangan membunuh binatang totem adalah ketakutan pada si anak. Binatang totem adalah subtitut bagi ayah yang mengancam dalam kondisi Oedipus Complex. Menurut Freud, totemistis tidak lain daripada mengenangkan peristiwa pembunuhan itu. Peristiwa pembunuhan ayah mengakibatkan rasa bersalah pada si anak, kemudian menjadi fundamen totemisme (Bertens, 1991).

    Selanjutnya, pamali totem diiringi dengan pamali menikahi wanita dari klan yang sama. Karena itu Adipati Wirasaba memberikan pamali tidak boleh mengambil menantu dari keturunan Toyareka. Toyareka masih satu klan dengan Adipati Warga Utama I. Selain itu, Toyareka juga telah tega memfitnah saudaranya sendiri hingga celaka.

    Kegagalan perakwinan diantara anggota klan yang sama dapat mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Perkimpoian putri Warga Utama I dengan putra Demang Toyareka menjadi contoh model perkimpoian anggota klan yang tidak baik, bahkan berakibat bencana.
    Sejarah Wirasaba (pantangan daging angsa) II

    Penjelmaan Siwa

    Di samping itu, Angsa atau banyak dalam agama Hindu merupakan wahana Dewa Brahma sebagai dewa pencipta. Dalam ajaran dari aliran Siwa Sidhanata disebutkan adanya lima aksara yang melambangkan penjelmaan Siwa yang berhubungan dengan keempat arah mata angin. Penjelmaan siwa dalam pancaaksara berada di sebelah selatan, yaitu Ma sebagai Dewa brahma. Brahma sebagai causa prima (sangkanparaning dumadi) juga ditemukan pada kompleks percandian Prambanan. Di situ ada tiga candi induk, yaitu Candi Wisnu, Candi Siwa dan Candi Brahma. Ketiga bangunan itu dilengkapi dengan tiga candi wahana. Candi wahana Brahma adalah Angsa.

    Angsa selain menjadi binatang totem bagi keluarga Warga Utama I, juga menjadi seimbol dewa pencipta yaitu Brahma. Maka dari itu, memakan Banyak, seliain tidak menghormati binatang totem juga mematikan atau melupakan Sang Maha Pencipta. Bangsa-bangsa kuno memiliki kepercayaan totemisme atau binatang suci yang tidak boleh digangu, dibunuh atau dimakan.

    Totemisme muncul karena adanya anggapan bangsa-bangsa itu mempunyai hubungan kekuatan gaib dengan sekelompok orang, sesekali dengan seseorang, dan segolongan binatang atau tumbuhan atau benda material (Baal, 1987). Totemisme sering dipakai oleh banyak anggotanya untuk menelusuri identitasnya dari suatu simbol bersama sering lewat asal-usul suatu leluhur atau sekelompok bersama.

    Angsa atau banyak merupakan simbol bersama masyarakat Banyumas terhadap leluhurnya yang berasal dari Padjadjaran, yakni Banyak Catra. Banyak Catra dan keturunannya yang menjadi Adipati Pasirluhur dan Pasirbatang menggunakan nama Banyak. Dengan demikian, Angsa adalah lambang yang berkaitan dengan awal-mula, Maha pencipta, dinasti (wangsakerta), dll. Oleh karena itu, warga Utama I memberikan pamali tersebut sebagai pengejawantahan kesadaran historis leluhurnya.

    Kesadaran itu merupakan peringatan agar keturunannya tidak mengalami peristiwa naas yang sama. Pamali ini telah menjadi legenda di kalangan masyarakat Banyumas, baik keturunan asli maupun pendatang. Pencarian makna pamali tersebut diharapkan dapat mengubah citra pamali sebagai tugu yang mati. Tanpa ada pemahaman makna pamali, maka pamali tersebut akan menjadi vampire yang menakutkan bagi masyarakat pewarisnya.
    Sejarah Wirasaba (jaka kaiman diangkat jadi adipati)

    Sepeninggal Adipati Wraga Utama I, Sultan Pajang menyesal atas tindakannya. Kemudian, Sultan memanggil para putera Adipati Warga Utama I. Namun, Ki Ageng Senon dan Ki Wirawijaya tidak bersedia memenuhi panggilan raja. Mereka takut akan mengalami nasib yang sama dengan orang tuanya. Karena itu, Jaka Kaiman bersedia berangkat ke Pajang. Ia rela menanggung dosa mertuanya.

    Sebaliknya jika ia mendapat anugerah raja, ia meminta agar kedua saudara iparnya tidak iri hati, tidak mengganggu keturunannya dan keturunan Kaiman tetap memerintah di Wirasaba.


    ...............

1 komentar:

  1. Terima kasih, saya jadi tahu asal usul nenek moyang saya..karena saya menemukan berkas" asal usul gelar raden eyang kakung saya dilemari kunonya, dari generasi prabu brawijaya 4 dan anak keturunannya yg anda jabarkan benar semua sesuai dengan data berkas yg ada pada saya..terima kasih sekali lagi.

    BalasHapus